Terjebak di Balik Layar: Pelanggaran Hak Pekerja Informal yang Terlupakan
Sektor informal adalah tulang punggung ekonomi bagi banyak negara berkembang, menampung jutaan pekerja yang mencari nafkah. Namun, di balik hiruk pikuknya, tersimpan realitas pahit: pelanggaran hak dan kondisi kerja yang memprihatinkan, seringkali luput dari perhatian.
Pekerja di sektor ini, mulai dari pedagang kaki lima, asisten rumah tangga, buruh lepas harian di konstruksi, hingga pekerja gig ekonomi tanpa kontrak jelas, seringkali menghadapi kondisi kerja yang jauh dari layak. Mereka terjebak dalam upah minim yang jauh di bawah standar, jam kerja tak menentu dan berlebihan tanpa tunjangan lembur, serta lingkungan kerja yang tidak aman tanpa standar keselamatan yang jelas atau alat pelindung diri.
Pelanggaran hak dasar menjadi pemandangan umum. Ketiadaan kontrak kerja formal menghilangkan jaminan kepastian kerja, asuransi kesehatan, tunjangan hari raya, hingga hak cuti sakit atau tahunan. Mereka rentan terhadap pemutusan hubungan kerja sepihak tanpa pesangon dan sulit menyuarakan keluhan karena ketiadaan serikat pekerja atau perlindungan hukum yang memadai. Diskriminasi gender, eksploitasi anak, dan kerja paksa juga kerap ditemukan, terutama pada kelompok paling rentan seperti pekerja migran atau asisten rumah tangga.
Dampaknya? Kesejahteraan pekerja terancam, mereka hidup dalam ketidakpastian finansial, dan sulit keluar dari lingkaran kemiskinan. Ini bukan hanya masalah individu, melainkan isu struktural yang menghambat pembangunan sumber daya manusia dan keadilan sosial.
Sudah saatnya kita melihat ‘balik layar’ sektor informal ini dengan lebih serius. Pemerintah, masyarakat, dan pengusaha perlu bersinergi menciptakan kebijakan yang inklusif, memperkuat pengawasan, dan memberikan akses perlindungan sosial serta hukum bagi mereka. Sebab, hak setiap pekerja, terlepas dari status formal atau informalnya, adalah hak asasi manusia yang wajib dihormati.











